BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Otonomi
Daerah di Indonesia
Otonomi
daerah di Indonesia adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.”
Terdapat dua nilai dasar yang dikembangkan
dalam UUD 1945 berkenaan dengan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah
di Indonesia, yaitu:
1.
Nilai
Unitaris, yang diwujudkan
dalam pandangan bahwa Indonesia tidak mempunyai kesatuan pemerintahan lain di
dalamnya yang bersifat negara ("Eenheidstaat"), yang berarti
kedaulatan yang melekat pada rakyat, bangsa dan negara Republik Indonesia tidak
akan terbagi di antara kesatuan-kesatuan pemerintahan; dan
2.
Nilai
dasar Desentralisasi Teritorial, dari isi dan jiwa pasal 18 Undang-undang Dasar 1945 beserta penjelasannya
sebagaimana tersebut di atas maka jelaslah bahwa Pemerintah diwajibkan untuk
melaksanakan politik desentralisasi dan dekonsentrasi di bidang ketatanegaraan.
Dikaitkan dengan dua nilai dasar tersebut
di atas, penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia berpusat pada pembentukan
daerah-daerah otonom dan penyerahan/pelimpahan sebagian kekuasaan dan
kewenangan pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus
sebagian sebagian kekuasaan dan kewenangan tersebut. Adapun titik berat
pelaksanaan otonomi daerah adalah pada Daerah Tingkat II (Dati II) dengan
beberapa dasar pertimbangan:
1.
Dimensi
Politik, Dati II
dipandang kurang mempunyai fanatisme kedaerahan sehingga risiko gerakan
separatisme dan peluang berkembangnya aspirasi federalis relatif minim;
2.
Dimensi
Administratif,
penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat relatif dapat
lebih efektif;
3.
Dati
II adalah daerah "ujung tombak" pelaksanaan pembangunan sehingga Dati
II-lah yang lebih tahu kebutuhan dan potensi rakyat di daerahnya.
Atas dasar itulah, prinsip otonomi yang
dianut adalah:
1.
Nyata, otonomi secara nyata diperlukan sesuai
dengan situasi dan kondisi obyektif di daerah;
2.
Bertanggung
jawab, pemberian otonomi
diselaraskan/diupayakan untuk memperlancar pembangunan di seluruh pelosok tanah
air; dan
3.
Dinamis, pelaksanaan otonomi selalu menjadi
sarana dan dorongan untuk lebih baik dan maju
2.2
Munculnya
Raja Kecil Daerah
Tujuan
utama Otonomi Daerah hakikatnya adalah pelaksanaan tugas umum pemerintahan
menggunakan asas kepastian hukum, tertib penyelenggaraan negara, kepentingan
umum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, akuntabilitas, efisiensi,
dan asas efektivitas serta tercapainya penyelenggaraan kepemerintahan yang baik
(good governance) dengan landasan demokrasi yang menitikberatkan pada peran
serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta memperhatikan keanekaragaman
asset sosial, ekonomi, budaya di aras lokal.
Demokrasi partisipatoris menjadi
impian Otonomi Daerah karena lebih banyak bertumpu pada kekuatan rakyat, atau
di sisi lain masyarakat. Namun, Otonomi daerah menyisakan banyak masalah karena
belum tuntasnya peraturan pemerintah tentang petunjuk pelaksanaan dan
implementasi yang cepat dan tepat.
Penyelenggaraan Otonomi daerah dalam
kenyataannya dilaksanakan kurang memperhatikan aspek demokrasi, keadilan,
pemerataan serta potensi dan keanekaragaman daerah. Dengan otonomi yang luas,
nyata dan bertanggung jawab yang tetap terjaminnya hubungan yang serasi antara
Pusat dan Daerah serta antar-Daerah.
Diharapkan dengan adanya Otonomi
daerah seharusnya lebih meningkatkan kemandirian daerah Otonom dan karena itu
daerah kabupaten maupun kota tidak lagi menjadi wilayah administrasi. Otonomi
daerah diarahkan untuk lebih meningkatkan peranan dan fungsi DPRD, baik sebagai
sebagai fungsi legislatif, fungsi kontrol maupun anggaran atas penyelenggaraan
pemerintah daerah.
Dengan demikian setiap daerah
kabupaten dan kota berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Selain itu
juga agar tetap terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta
secara horizontal antara daerah yang satu dengan daerah yang lain.
Otonomi Daerah menjadi sebuah
pengalihan sebagian tugas dan wewenang dari Pusat ke daerah. Maka daerah, kabupaten
dan kota, lahir otoritas atau wewenang dan fungsi-fungsi baru bagi daerah, yang
sering dikatakan memunculkan “kerajaan- kerajaan kecil” di aras lokal.
“Kerajaan-kerajaan” ini akan melahirkan “raja-raja”kecil dengan otoritas dan
kekuasaan yang luas. Orang cenderung mengkhawatirkan adanya pengalihan tugas
dan wewenang ini juga berpindahnya kebiasaan yang menyertai kekuasaan seperti
korupsi, kolusi dan nepotisme ke arah lokal.
Kesenjangan antar daerah yang secara
sosial-budaya sesungguhnya terintegrasi secara historis bisa jadi tercerai
berai karena diberlakukannya sistem pemerintahan otonom yang bertumpu pada
daerah kabupaten atau kota. Artinya, di aras lokal akan terkotak-kotak dalam
susunan yang sangat kecil (kota dan kabupaten) maka nyata mereka tidak saja
secara admistratif dan manajemen terpisah, tetapi secara politik dan ekonomi
juga membuka tingkat persaingan dan perebutan asset wilayah luar biasa di masa
depan. Pada hal sebelumnya daerah itu terintegrasi secara komperhensif.
Perasaan primordial pada arah lokal
dalam era Otonomi Daerah juga akan semakin bertambah kuat, apalagi sebagian
besar masyarakat belum menghayati pola-pola sosialisasi modern dan
perubahan-perubahan yang menyertainya. Otonomi Daerah sering dipahami sebagai
bagian politik pusat untuk menguasai daerah. Maka tidak mengherankan sebagian
daerah yang lain justru menerjemahkan Otonomi Daerah dengan kemerdekaan.
Implementasi otonomi daerah memberi dampak positif dan negatif dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di daerah. Dampak positif yang menonjol adalah tumbuh dan berkembangnya prakarsa daerah menuju kemandirian daerah dalam membangun. Dampak negatifnya yang paling mengemuka timbulnya friksi pusat-daerah dan antar daerah , terutama dalam pengelolaan sumberdaya alam, kewenangan dan kelembagaan daerah. Salah satu penyebabnya bersumber dari harmonisasi kebijaksanaaan dengan kebijaksanaan otonomi daerah, misalnya peraturan pertanahan, tata ruang, penanaman modal, perdagangan, perikanan dan kelautan, jalan, UMKM dan Koperasi, Perda yang counter productive, dsb.
Implementasi otonomi daerah memberi dampak positif dan negatif dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di daerah. Dampak positif yang menonjol adalah tumbuh dan berkembangnya prakarsa daerah menuju kemandirian daerah dalam membangun. Dampak negatifnya yang paling mengemuka timbulnya friksi pusat-daerah dan antar daerah , terutama dalam pengelolaan sumberdaya alam, kewenangan dan kelembagaan daerah. Salah satu penyebabnya bersumber dari harmonisasi kebijaksanaaan dengan kebijaksanaan otonomi daerah, misalnya peraturan pertanahan, tata ruang, penanaman modal, perdagangan, perikanan dan kelautan, jalan, UMKM dan Koperasi, Perda yang counter productive, dsb.
Akibatnya ketergantungan daerah
terhadap Pemerintah Pusat sangat tinggi yang mengakibatkan kreativitas
masyarakat lokal berserta seluruh perangkat daerah dan kota menjadi tak
terbedayakan sedangkan kebijakan yang represif telah membunuh secara dini
aspirasi daerah untuk menuntut keadilan atas kekayaan alam yang dimilikinya. Pemerintah
Pusat yang telah mengalami kesulitan sumber dana agaknya juga sangat kewalahan
menghadapi persoalan dan gejolak yang terjadi di aras lokal. Berarti selama
lebih dari 66 tahun Merdeka, Indonesia gagal melakukan konsolidasi dan
persatuan daerah yang adil dan merata. Mungkin saja, karena mempertahankan
kekuasaan sebuah rezim lebih diutamakan bahkan cenderung berlebihan sehingga
urusan daerah bukan demi kemandirian tetapi justru dalam format mempertahankan
kekuasaan.
Menurut informasi banyak Gubernur
yang juga kecewa terhadap kebijakan Otonomi Daerah, terlepas mereka kehilangan
sebagian besar kekuasaannya, karena dalam Otonomi Daerah posisi Gubernur secara
politis memang terpinggirkan. Ini disebabkan karena unit pelaksana Otonomi
Daerah berada pada tingkat kabupaten dan kota. Undang-undang tidak mengatur
secara hierarkis antara gubernur dan bupati/walikota. Jadi Gubernur tidak lagi
menjadi atasan walikota atau bupati.Dengan sendirinya kekuasaan mereka hanya
terbatas pada kekuasaan administrative.
Otonomi Daerah Tumbuhkan KKN di
Daerah
Namun dengan adanya UU No. 32 tahun 2004 yang menganut asas desentralisasi memberikan otonomi yang luas, nyata, dan bertanggungjawab kepada daerah untuk menggali potensi-potensi daerah demi kesejahteraan dan akselerasi pembangunan di daerah yang bersangkutan, menjadi rumit dalam penerapannya karena kondisi sosial, ekonomi, budaya dan geografis masing-masing daerah otonom yang berbeda – beda. Belum ditambah masalah Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang banyak dilakukan oleh pejabat-pejabat di daerah. Sudah jadi trade mark bahwa Bupati/Walikota yang menjabat didukung oleh mayoritas fraksi-fraksi di DPRD atau partai pemenang pemilu yang mempunyai suara mayoritas di DPRD, hal ini makin menghambat pelaksanaan fungsi-fungsi DPRD terutama fungsi pengawasan karena biasanya ada tarik – menarik kepentingan (kongkalingkong) antara eksekutif dan legislative.
Namun dengan adanya UU No. 32 tahun 2004 yang menganut asas desentralisasi memberikan otonomi yang luas, nyata, dan bertanggungjawab kepada daerah untuk menggali potensi-potensi daerah demi kesejahteraan dan akselerasi pembangunan di daerah yang bersangkutan, menjadi rumit dalam penerapannya karena kondisi sosial, ekonomi, budaya dan geografis masing-masing daerah otonom yang berbeda – beda. Belum ditambah masalah Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang banyak dilakukan oleh pejabat-pejabat di daerah. Sudah jadi trade mark bahwa Bupati/Walikota yang menjabat didukung oleh mayoritas fraksi-fraksi di DPRD atau partai pemenang pemilu yang mempunyai suara mayoritas di DPRD, hal ini makin menghambat pelaksanaan fungsi-fungsi DPRD terutama fungsi pengawasan karena biasanya ada tarik – menarik kepentingan (kongkalingkong) antara eksekutif dan legislative.
Untuk itu perlu political will dari
penyelenggara pemerintahan di daerah terutama badan legislatif dalam hal ini
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) untuk menjalankan fungsi legislasi dengan
baik, yaitu bersama dengan Eksekutif membuat Peraturan Daerah (Perda) yang
sesuai dengan situasi dan kondisi daerah yang bersangkutan atau Perda yang
dibutuhkan untuk meningkatkan akselerasi pembangunan di daerahnya
masing-masing.
Demikian juga dengan fungsinya sebagai penetap anggaran
(budgeting). DPRD harus bisa memilah dan menetapkan prioritas anggaran yang
akan digunakan oleh Eksekutif sebagai pengguna anggaran di Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (APBD). Selama ini banyak disinyalir DPRD terlalu lunak
dalam mengoreksi RAPBD yang diajukan oleh Eksekutif, terutama dalam
kegiatan-kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan pembangunan yang
menyentuh langsung dengan meningkatkan kesejahteraan masyarakat seperti
pengadaan Mobil Dinas Pejabat, Belanja Laptop dan lain-lain yang sering setahun
sekali sementara porsi untuk kegiatan pembangunan infrastruktur atau program
pemberdayaan ekonomi rakyat lebih kecil dan penyediaan lapangan kerja oleh
Pemerintah Daerah yang selama ini kebijakannya tidak jelas (belum ada Perda
yang mengatur tentang hal ini di daerah mana pun di NKRI).
Untuk itu fungsi pengawasan DPRD terhadap jalanya pemerintahan dan pelaksanaan peraturan perundang-undangan oleh Eksekutif yang harus kontinyu dan maksimal sehingga kinerja eksekutif dalam memberikan pelayanan dan melaksanakan pembangunan di daerah bisa sesuai target yang direncanakan.
Untuk itu fungsi pengawasan DPRD terhadap jalanya pemerintahan dan pelaksanaan peraturan perundang-undangan oleh Eksekutif yang harus kontinyu dan maksimal sehingga kinerja eksekutif dalam memberikan pelayanan dan melaksanakan pembangunan di daerah bisa sesuai target yang direncanakan.
Solusi dalam menyikapi dan memandang
pelaksanaan Otonomi Daerah selain optimis juga harus disikapi dengan hati-hati
karena berbagai hambatan baik pada tingkat penyelenggara negara maupun pada
tingkat masyarakat bawah masih perlu sarana untuk memperlancar arus informasi
dan dialog sehingga tercipta pola komunikasi politik yang mampu membangun
sebuah partnership yang mendorong daerah untuk mandiri.
2.3 Otonomi
Daerah Lahirkan Banyak Raja Kecil
Era reformasi Indonesia
telah melahirkan perubahan tata pemerintah, terutama dalam hal pengembangan
daerah otonomi baru. Indonesia yang sudah lama bertahan sangat lama –hingga
reformasi- dengan 27 Provinsi kini memiliki 33 Provinsi dan 483 kabupaten/kota
baru dari hasil pemekaran. Implikasinya adalah berbagai perubahan perundangan
dan mekanisme penganggaran terkait otonomi daerah/desentralisasi
pemerintah yang terjadi di Indonesia, dari UU No.22 tahun 1999 dan kini
Indonesia berpedoman pada UU N0.32 Tahun 2004. Bila menilik pada tujuan mulia
dari kebijakan otonomi daerah, yakni “meningkatkan kesejahteraan masyarakat,
pelayanan umum, dan daya saing daerah (Ps.2 (4) UU 32/2004)”, kebijakan ini
diharapkan mampu memberikan kebermanfaatan besar bagi rakyat Indonesia serta menyeimbangkan
kekuatan antara pemerintah pusat dan daerah.
Riuh gemuruh penuh
euforia dari otonomi daerah di sambut dengan sangat antusias oleh berbagai
kalangan, terutama kalagan elit politik dan tokoh masyarakat lokal yang ingin
memanfaatkan kebijakan otonomi daerah di Indonesia dengan mengusulkan pemekaran
daerah yang “seakan-akan” sangat mudah dan berkembang sangat cepat. Jika siswa
SD di tahun 90an dapat dengan mudah menghafalkan jumlah Provinsi dan
Kabupaten/Kota, saat ini guru-guru akan kebingungan juga saat ditanya mengenai
jumlah daerah di Indonesia karena terus bermekaran.
Pada UU No.32 Tahun
2004 yang kini menjadi payung hukum untuk otonomi daerah di Indonesia masih tak
terlepas dari berbagai kekurangan, yakni terlalu dominannya kewenangan dan
kekuasaan DPRD, dan lemahnya kewenangan dan kekuasaan Gubernur serta tidak
kuatnya hirarki antara Gubernur dengan Bupati/Walikota yang berdampak pada
lahirnya raja kecil di setiap daerah kabupaten/kota di Indonesia. Bila di ambil
contoh Provinsi Jawa Barat yang memiliki 17 Kabupaten dan 9 Kota. Gubernur Jawa
Barat tidak bisa memerintah Bupati dan Walikota tertentu untuk melakukan atau
tidak melakukan sesuatu, karena memang menurut UU, Gubernur yang merupakan
perpanjangan tangan pemerintah pusat di daerah hanya memiliki kewenangan untuk
membina, mengawas dan mengkoordindir pemerintah Kabupaten/Kota (Ps.38 (1) UU
32/2004).
Kuatnya DPRD
Kabupaten/Kota dan tidak bisa diaturnya Bupati/ Walikota praktis membuat
pemerintah pusat juga tidak bisa mengatur dan memerintah pemerintah
Kabupaten/Kota dengan bebas. Presiden Republik Indonesia pun hanya bisa
memberhentikan secara sementara Kepala Daerah bila terjerat atau terlibat dalam
kasus hukum. Selain itu bila merujuk pada wewenang pemerintah Provinsi (Ps.13
(1) UU 32/2004) dan wewenang pemerintah Kabupaten/Kota (Ps. 14 (1) UU 32/2004),
terdapat banyak sekali tumpang tindih kewenangan diantara dua tingkat
pemerintah ini. Tidak adanya pembagian peran dan tanggung jawab yang tegas
membuat –lagi-lagi- pemerintah Provinsi kembali mengalah dari pemerintah
Kabupaten/Kota dengan dalih peran Gubernur hanya untuk membina, mengawas, dan
mengkoordinir. Sehingga, lahirnya kesimpulan bahwa peran eksekusi dan
implementasi terletak pada pemerintah Kabupaten/ Kota.
Ada sebuah anekdot di
Jawa Barat, bahwa kekuasaan Gubernur hanya di Gedung Sate saja, tempat Gubernur
beraktivitas, itu pun hak milik tanah Gedung Sate merupakan milik Pemerintah
Kota Bandung. Lalu, apa yang pemerintah Provinsi miliki ? Penulis pun tidak
cukup yakin untuk menjawa pertanyaan ini, sehingga silahkan pembaca semua
menilai apa kewenangan dan kekuasaan yang dimiliki oleh Gubernur bersama
pemerintah Provinsi yang lain.
Berkembangnya
Raja-Raja kecil yang berjumlah lebih dari empat ratus Raja, membuat mekanisme
perencanaan, pembangunan dan pengendalian menjadi sangat terganggu. Perencanaan
jangka panjang menjadi semakin dilakukan karena sulitnya singkronisasi visi
pembangunan antara pusat dan daerah. Pembangun pun menjadi terhambat karena
permasalahan keterbatasan anggaran serta pembagian keuntungan yang penuh
konflik, serta pengendalian pembangunan yang tidak jelas karena setiap Raja
kecil juga memiliki kewenangan untuk merubah rencana yang ada. Pada akhirnya
mereka (para Raja kecil) akan berkata “ini tanah ku bung !”.
Otonomi Daerah yang kebablasan, mungkin ini ekspresi yang cukup
tepat untuk menggambarkan bagaimana keadaan dan dampak dari desentralisasi yang
terjadi di Indonesia. Otonomi ini tampaknya yang paling bablas di
dunia, Amerika Serikat yang konon negara yang demokratis saja hanya
memberlakukan otonomi hingga tingga negara bagian (state), dan Australia hanya
menetapkan otonomi hingga tingkat teritori. Hanya Indonesia tampaknya yang
memberikan kewenangan hingga tingkat kabupaten (District (US) / Munipical (Aus)
/ Regency (UK) ), artinya Indonesia memiliki 516 + 1 (pemerintah pusat) tata
perundangan yang berbeda.Walau alasan awal dari lahirnya otonomi daerah adalah
untuk menjaga integritas bangsa dan menghindari pemisahan daerah seperti Timor
Timur. Meski demikian, sebenarnya tidak semudah itu untuk menjadikan sebuah
daerah untuk menjadi negara. Dibutuhkan pengakuan internasional dan melibatkan
PBB sebagai organisasi tertinggi. Sungguh sangat hampir tidak mungkin bila PBB
dan dunia internasional akan mau mengurusi pengakuan negara untuk 27 negara
baru dari hasil pemisahan provinsi di Indonesia ( kondisi bila ternyata ke-27
provinsi memisahkan diri).
2.4 Lahirnya
Raja – Raja kecil di Era Otonomi Daerah
Otonomi daerah atau
desentralisasi menjadi pilihan rasional dan terbaik, ketika pemerintahan
yang sentralistik (baca Orde Baru) tidak mampu menjawab pelbagai
permasalahan yang dialami daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota.
Persoalan utama yang dirasakan pemerintahan di daerah menyangkut rasa keadilan
dan pemerataan pembangunan. Pembangunan dikesankan atau bisa jadi benar hanya
difokuskan di wilayah Indonesia Bagian Barat (titik pusatnya di Jakarta),
sementara wilayah Indonesia Timur hampir tidak tersentuh. Sementara dalam rasa
keadilan ternyata sangat dirasakan, dimana pendapat asli daerah (PAD) hampir
75% disetorkan ke pemerintah pusat dan 25% tetap tinggal di daerah. Kondisi
seperti inilah yang menggerakkan beberapa daerah kaya, seperti Aceh, dan Papua
terus bergejolak.
Konsep otonomi daerah menjadi begitu
populer dalam wacana publik ketika reformasi digulirkan atau setelah Orde Baru
runtuh seiring lengsernya Soeharto dari kursi presiden setelah 32 tahun
berkuasa. Harapan publik tertumpu pada lahirnya demokrasi yang dipercaya
sebagai obat penyembuh penyakit-penyakit kronis dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Perubahan seolah menjadi impian yang kian dekat dengan kenyataan dan
demokratisasi sebagai penawar yang mampu membawa perubahan dalam berbagai aspek
ketatanegaraan, baik sistem maupun aktor, dan pada pola hubungan pusat dan
daerah.
Dengan semangat desentralisasi, daerah
menggunakan otonomi yang dimilikinya untuk berkreasi dan berinovasi dalam
mengelola sumber daya-sumber daya yang dipunyainya. Reformasi telah
menghantarkan ke gerbang demokrasitisasi yang akan membawa perubahan dalam
sistem pemerintahan daerah yang semula sentralistis menjadi desentralistis.
Perubahan itu berimplikasi pada terjadinya pergeseran lokus kekuasaan, dari
pusat ke daerah. Desentralisasi memberikan surga baru pada daerah-daerah,
karena selama 3 (tiga) dekade kekayaan alam yang dimiliki daerah tidak pernah
dinikmatinya. Akibatnya, terjadi kesenjangan yang mencolok di daerah-daerah
yang kaya sumber daya alamnya, tetapi penduduknya tetap miskin.
Desentralisasi telah membawa perubahan
bagi aktor dan pola relasi kekuasaan menjadi lebih berimbang antara pusat dan
daerah. Pada tataran aktor terlahir bak jamur di musim hujan para pelaku baru
dalam arena pertarungan kekuasaan. Birokrat dan militer tidak lagi dominan,
para pengusaha yang selama ini bermain dibelakang layar kini sudah mulai turun
gunung ikut bertarung memperebutkan jabatan politik kekuasaan di daerah. Bahkan
lebih maju lagi, dengan desentralisasi memunculkan tokoh-tokoh lokal, seperti
aktris, bintang film, kyai, kaum bangsawan, dan budayawan, sebagai pemain baru
yang turut mempengaruhi relasi kekuasaan di daerah.
Di arus relasi kekuasaan, desentralisasi
membawa perubahan yang signifikan menjadi lebih berimbang antara pusat dan daerah,
antara suprastruktur politik dengan infrastruktur politik. Masyarakat mempunyai
peluang besar ikut berpartisipasi untuk mengontrol kebijakan-kebijakan yang
diambil dan dilaksanakan pemerintah. Partisipasi masyarakat menjadi semakin
nyata ketika diterapkannya sistem pemilihan kepala daerah secara langsung atau
pilkada langsung, sehingga masyarakat dapat memilih calon pemimpinnya sesuai
kehendak dan keinginan masyarakat.
Pada tataran praxis, keikutsertaan
masyarakat dalam penentuan kepala daerah secara langsung tidak dijadikan
jaminan pemimpin daerah untuk memperjuangkannya menuju kehidupan yang lebih
baik dan sejahtera secara ekonomis. Lalu permasalahannya, apakah dengan
pemilihan kepala daerah secara langsung akan ada jaminan menuju perubahan yang
lebih baik dalam tata kelola pemerintahan daerah? Tulisan ini mencoba
memberikan deskripsi tentang sisi gelap pelaksanaan otonomi daerah atau
desentralisasi dalam pelayanan publik dan tersedianya ruang bebas bagi
kemunculan local strongmens.
Demokratisasi sebagai sebuah pilihan
pasca pemerintahan sentralistik bermakna sebagai upaya daerah dalam
menerjemahkan otonomi yang dimilikinya untuk mensejahterakan masyarakat. Di
aras ini, daerah dituntut untuk kreatif dan inovatif dalam menjabarkan
kebebasan dan kewenangan yang dimilikinya untuk meningkatkan kualitas pelayanan
publik. Ada beberapa daerah yang sukses menerapkan desentralisasi, seperti
Solo, Sragen (Jawa Tengah), Blitar (Jawa Timur), Jembrana (Bali), Solok,
Banjarmasin, dan beberapa daerah lainnya, sementara banyak daerah yang jalan di
tempat (kalau tidak mau dikatakan gagal) dalam pelaksanaan desentralisasi.
Sesungguhnya bagi daerah-daerah yang berhasil desentralisasinya telah
membuktikan bahwa desentralisasi dapat menjadi alat untuk bangkit dari
keterpurukan dan kemiskinan. Namun, ada pula daerah yang terseok-terseok dan
bahkan terkesan gagal dalam penerapan otonomi daerah.
Pilkada
dan Demokratisasi Politik Lokal
Pemilihan
kepala daerah secara langsung (Pilkada) di Indonesia merupakan mukjizat
demokrasi bagi rakyat di daerah]. Karena Pilkada menjadi
media transformasi politik dengan melahirkan hak politik dan kebebasan sipil
(political rights and civil liberties) yang lebih nyata untuk rakyat. Dengan
perkataan lain, Pilkada langsung menjadi solusi elegan sekaligus terobosan
untuk mengatasi kemacetan demokrasi lokal. Karena itu, proses perubahan akan
terus berlangsung dari level Nasional sampai level lokal atau daerah, khususnya
dalam memilih pejabat publik yang dipilih langsung oleh rakyat sesuai hak
pilihnya.
Pilihan pada sistem demokrasi menjadi
pilihan terbaik bagi kegiatan pemerintahan, tidak hanya di Indonesia, tetapi
juga dibelahan dunia lainnya, seperti Amerika Latin, Asia dan Afrika, juga
sekaligus sebagai pembenaran terhadap tesis Huntington tentang gelombang
demokratisasi dunia ketiga. Dalam konteks Indonesia, sebenarnya
sejak era tahun 1980-an muncul fenomena gerakan demokratisasi politik yang
menuntut perubahan ditandai tampilnya kekuatan masyarakat sipil dan kaum intelektual
melalui gerakan reformasi yang titik puncaknya pada Mei 1998 dengan lengsernya
Presiden Soeharto sebagai simbol pemerintahan sentralistik ala Orde Baru.
Kondisi tersebut memicu dinamika politik berdemokrasi agar dilakukan reformasi
total di segala bidang kehidupan bangsa.
Di bidang Politik, masyarakat menuntut
pemerintahan baru yang legitimate yang dihasilkan dari proses
demokrasi. Di aras ini, pekerjaan utama yang harus dilakukan pemerintahan
transisi di bawah kepemimpinan presiden B.J. Habibie adalah melaksanakan pemilu
secepat mungkin. Gerbong reformasi politik mulai bergerak yang ditandai dengan
keluarnya Undang-undang No.2 Tahun 1999 tentang partai politik, Undang-undang
No. 3 Tahun 1999 tentan pemilihan umum dan Undang-undang No. 4 Tahun 1999 tentang
susunan dan kedudukan MPR-DPR-DPRD. Semua kebijakan dan ketentuan tersebut
telah diimplementasikan pada pemilu 1999 dan 2004 yang telah melahirkan
pemerintahan baru yang dianggap paling demokratis selama sejarah pemerintahan
Indonesia. Kemudian di aras lokal, reformasi politik pemerintahan dilakukan
dengan dikeluarkannya kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah melalui UU
No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, lalu diperbaharui dengan UU No.
32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, kemudian direvisi menjadi
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang perubahan kedua atas
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang pemerintahan Daerah membawa implikasi
yang significan terhadap diperbolehkannya peserta pemilu kepala daerah dan
wakil kepala daerah dari jalur perseorangan.
Pemilihan Presiden Langsung dan Kepala
Daerah Langsung menjadi poin baru dalam ketatanegaraan Indonesia. Pemilu
langsung merupakan respons dari keinginan warga bangsa untuk mengembalikan
kedaulatan rakyat secara demokratis “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk
rakyat” dan inilah inti dari demokrasi substantif atau normatif. Demokrasi
dalam kajian ilmu Politik dipahami dari dua aspek yakni demokrasi normatif
(substantive demokracy) dan demokrasi Empirik (procedural Demoracy). Dengan demikian,
menurut Huntington, sebagaimana dikutip J. Kaloh bahwa sistem politik yang
demokratis adalah sejauh mana para pembuat keputusan kolektif yang paling kuat
dalam sistem itu dipilih melalui pemilihan umum yang adil, jujur dan berkala.
Para calon secara bebas bersaing untuk memperoleh dukungan suara pemilih dan
hampir semua penduduk dewasa berhak memberikan suara.
Proses institusionalisasi sistem
demokrasi sepertinya sulit dibendung di negara-negara nondemokratik yang baru
merdeka, termasuk di Indonesia. Pilihan desentralisasi dalam tata kelola
pemerintahan daerah menjadi bagian dari proses institusionalisasi demokratik
pasca kekuasaan rejim otokrasi dan sentralisasi kekuasaan selama Orde Baru.
Sistem sentralisasi kekuasaan tidak lagi menjadi pilihan yang menarik bagi
warga bangsa karena pengaruh yang ditimbulkannya terhadap disparitas ekonomi,
kesenjangan pusat-daerah begitu menganga, dan suburnya oligarki kekuasaan.
Bagi Samuel P. Huntington proses
institusionalisasi sistem demokrasi diistilahkan sebagai gelombang
demokratisasi ketiga. Peristiwa besar ini disebut Fukuyama sebagai The end
of history. Demokrasi liberal merupakan pemerintahan terbaik bagi umat manusia
(yang terakhir) sebagai puncak dari evolusi ideologi menurut Fukuyama. Dengan
demikian, sesudah gelombang demokratisasi ketiga menyebar ke seluruh dunia,
maka tekanan ke arah desentralisasi semakin menguat, sebab demokrasi
memberikan space pada pelembagaan kewenangan yang lebih mandiri dan
luas kepada pemerintahan di daerah dan tentu berbeda dengan rejim otokratik
yang sentralistik.
Berangkat dari pola pikir di
atas, bahwa desentralisasi atau demokrasi di aras lokal menjadi
kebutuhan yang mesti diterapkan. Setidaknya, ada beberapa argumen dimana
desentralisasi bermanfaat bagi pembangunan politik atau demokrasi di
daerah. Pertama, akuntabilitas dan responsivitas. Kedua, pengembangan
warga. Ketiga, pelembagaan mekanisme check and
balances. Keempat, pemantapan legitimasi politik. Dalam konteks demokrasi
lokal, akuntabilitas dan responsivitas diartikan sebagai kemampuan pemerintah
daerah dalam memenuhi kebutuhan untuk pemerataan ekonomi dan politik, sementara
responsivitas diartikan sebagai kemampuan pemerintah lokal untuk menanggapi
kebutuhan, keperluan dan kemauan untuk mendistribusikan pelayanan publik kepada
warga setempat, karena selama sistem sentralisasi berkuasa tidak pernah
terlaksana.
Dengan demikian, di era desentralisasi
partisipasi masyarakat menjadi sesuatu yang penting dan diberikan ruang atau
ruang publik (public sphere) dalam sistem pemerintahan daerah. Partisipasi
masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik di tingkat lokal diharapkan
akan melahirkan masyarakat yang terampil sehingga menjadi modal sosial yang
bermanfaat bagi pelembagaan desentralisasi. Ending dari semua proses
itu adalah tumbuh, kembang dan matangnya organisasi dan jaringan masyarakat
sipil di daerah yang pada gilirannya dapat meindungi sistem demokratik dari
alienasi (meminjam istilah Karl Marx) masyarakatnya terhadap kehidupan politik
di tingkat lokal.
Harus diakui bahwa sampai saat
ini ghiroh dari philosofi desentralisasi belum terwujud (untuk tidak
mengatakan gagal) di banyak daerah di Indonesia. Yang dimaksudkan pelembagaan
mekanisme check and balances. Desentralisasi sebagai antitesis dari sentralisasi,
sebenarnya kesempatan emas bagi pemerintah daerah untuk bertindak sebagai
pengawal dan dan pengawas bagi pemerintah pusat dari tindakan-tindakannya yang
mengarah pada munculnya kembali rejim sentralistik. Di samping itu,
organisasi-organisasi di tingkat lokal, seperti Lembaga Swadaya Masyarakat,
Perguruan Tinggi, Organisasi sosial kemasyarakatan, Pers, dan lembaga lainnya,
harus berperan lebih aktif sebagai pengontrol dan pengawal proses
desentralisasi. Jika tidak, bukan tidak mungkin reinkarnasi pemerintahan sentralistik
akan muncul dalam bentuknya yang lain, apalagi dari hasil evaluasi pelaksanaan
desentralisasi dianggap gagal dan malahan yang terjadi munculnya raja-raja
kecil di banyak daerah.
Guna merealisasikan penguatan dan
pemberdayaan demokrasi di tingkat lokal, maka ada beberapa nilai dan harapan
dari pelaksanaan Pilkada Langsung menurut J. Kaloh yaitu pertama. Pilkada
Langsung memungkinkan terwujudnya penguatan demokratisasi di tingkat lokal,
khususnya legitimasi politik. Kedua, Pilkada Langsung mampu membangun
serta mewujudkan local accountability. Ketiga, terciptanya
optimalisasi mekanisme check and balances antara lembaga-lembaga
pemerintahan yang dapat meningkatkan pemberdayaan masyarakat dan penguatan
demokrasi di tingkat lokal.
2.5 Raja-raja
Kecil di Daerah?
Reformasi muncul sebagai
konsekuensi logis dari keinginan masyarakat lokal melepaskan diri dari oligarki
elit-elit pusat yang selama kekuasaan Orde Baru sangat dominan. Slogan “Abdi
Negara” menjadi sangat berarti saat kekuasaan Orde Baru karena dapat memberikan
kenyamanan bagi aparatur birokrat dan pundi-pundi mereka. Berangkat dari rasa
nyaman dan pundi-pundi tersebut membawa implikasi kepada bagaimana
mengkonstruksi mekanisme agar kepentingannya tetap terpelihara. Salah satu
caranya gubernur, bupati dan/atau wali Kota dipilih oleh DPRD (dianggap sebagai
representasi rakyat) atas restu pemerintah pusat. Kebijakan tersebut ternyata
cukup ampuh, terutama dalam menjaga aset-aset elit-elit pusat di daerah.
Upaya-upaya tidak demokratis itu hancur berantakan seiring dengan lengsernya
Presiden Soeharto.
Reformasi
membawa harapan baru dan angin syurga bagi warga bangsa untuk menata kehidupan
menjadi lebih baik, seiring dengan runtuhnya kekuasaan oligarki (meminjam
istilah Herbert Feith) Orde Baru yang sudah puluhan tahun terpatri di relung
hati dan pikiran masyarakat Indonesia. Harapan itu tidak terlalu berlebihan
karena pemerintahan baru dapat lahir dari sistem pemilihan yang langsung
dipilih oleh rakyat. Seharusnya, slogan birokrasi “Abdi Negara” secara otomatis
juga berubah menjadi “Abdi Masyarakat” atau “Pelayan Masyarakat”.
Sistem pemilihan kepala daerah secara
langsung merupakan wujud dari kemerdekaan warga di aras lokal untuk memilih
kepala daerahnya sendiri. Asumsinya, menurut Leo Agustino, dengan mekanisme
itu, maka akan terputuslah intervensi tangan-tangan oligarki elit-elit pusat di
daerah. Masalahnya, benarkah demikian? Atau jangan-jangan malah elit-elit
daerah yang justru menggantikan hegemoni elit-elit pusat. Atau dengan kata
lain, dengan sistem yang dianggap representasi keinginan dan kepentingan
masyarakat lokal akan memunculkan masalah baru yakni tumbuh suburnya raja-raja
kecil baru atau new local strongmen. Dan jika itu terjadi justru malah
menjadi mala petaka bagi demokrasi lokal melalui mekanisme pemilihan secara
langsung.
Pada
tataran teoritis pilkada langsung dapat melahirkan demokrasi lokal sebab para
pemimpin di daerah dipilih secara langsung oleh rakyat. Namun, pada tataran
praxis, sepertinya tidak ada yang bisa menjamin demokrasi lokal, keadilan, dan
keberpihakan pada rakyat terlahir dari proses pilkada yang telah berlangsung
selama ini, atau dengan kata lain pemimpin daerah yang terlahir dari Pilkada
langsung cendrung melupakan masyarakat yang memilihnya secara langsung.
Fenomena yang tampak justru para pemimpin daerah terus melakukan pesta, pesta
dengan pikiran sendiri, pesta dengan kekuasaan, pesta dengan menina bobokkan
partai pengusungnya saat Pilkada, dan tidak peduli dengan nasib rakyatnya.
Pesta demi pesta seperti itu, secara tidak langsung telah memberikan ruang
gerak bagi lahirnya kekuasaan kesukuan atau kekuasaan ashabiyah (meminjam
istilah Ibnu Khaldun).
Rasa pesimisme dan mungkin apatisme
masyarakat justru tumbuh di ruangnya sendiri, mengingat banyaknya kasus-kasus
pilkada yang diwarnai money politik, mobilisasi massa, kecurangan, dan
ketidakjujuran, serta ancaman pencederaan demokrasi itu sendiri. Kini telah
lahir local strongmen baru di daerah sebagai pemain politik yang menggantikan
peran langsung oligarki elit Orde Baru dan bersemayam di institusi
pemerintahan daerah. Dengan demikian, Pilkada langsung sebenarnya tidak membawa
perubahan ke arah yang lebih baik bagi kehidupan rakyat, justru elit-elit
daerah yang mendapatkan banyak keuntungan dari sistem pemilihan langsung
tersebut.
Atas nama putra daerah, banyak kepala
daerah atau elit-elit lokal yang mendapatkan keuntungan dari pelabelan itu,
tetapi tidak bagi rakyat. Sungguh ironis nasib rakyat, tetapi apa lacur kata
teman saya yang baru pulang dari studi program doktornya di Universitas Malaya,
Malaysia. Jika demikian keadaanya, maka sama saja dengan “jeruk minum jeruk”
kata Joshua yang mengiklankan produk minuman nutri sari. Inilah yang penulis
sebut dengan istilah “ruang hitam otonomi Daerah”. Tumbuh kembangnya raja-raja
kecil di daerah semakin kuat seiring dengan satu persatu dari para Gubernur dan
Bupati/Wali kota di banyak daerah di ungsikan ke rumah tahanan. Hal itu sebagai
bukti begitu kuatnya kekuasaan mereka selama ini.
Di aras ini, warga masyarakat tidak bisa
mengharap terlalu banyak untuk mendapatkan pelayanan terbaik dari perubahan
paradigma birokrasi “dari abdi negara ke abdi Masyarakat” seolah hanya isapan
jempol belaka. Pembuatan Kartu Tanda Penduduk misalkan, mestinya tidak perlu
menunggu sampai berhari-hari, karena sistem pembuatannya hampir mirip dengan
pembuatan Surat ijin mengemudi. Kenyataannya, tidak demikian. Keinginan
pemerintah untuk memberikan pelayanan terbaik bagi rakyat terus diupayakan,
namun di sisi lain juga terus bermasalah, seperti rencana penerapan e-KTP.
Kritikan terhadap pelaksanaan proyek e-KTP dari masyarakat yang terindikasi
bermasalah dianggap angin lalu. Kementerian Dalam Negeri selaku penanggungjawab
jawab proyek e-KTP menjamin proyek itu berjalan sukses dan bila gagal si
Menteri siap meletakkan jabatannya.
Akhirnya, warga masyarakat hanya
bisa ngedumel (ngerumun dalam bahasa Sasak), pekerjaan yang
seharusnya selesai dalam beberapa jam saja sampai harus ditunda menjadi
beberapa hari. Itulah, kaledoskop budaya perilaku para birokrat di negeri ini
tidak banyak berubah, malah cendrung mempertahankan status quo, mereka lebih
banyak berdiam diri dalam ruangan yang sejuk dan nyaman, seolah tidak mau tahu
dengan kondisi nyata yang dihadapi masyarakat dan kelihatannya lebih senang
bermain-main dengan dunia maya. Saling membalas Email dengan teman menjadi
demikian mengasikkan dan ber- facebook ria dengan ribuan teman,
kawannya teman, dan temannya teman-teman menjadi pekerjaan yang harus dikerjakan
para abdi masyarakat, sementara di sisi lain, menelantarkan tugas pokoknya
sebagai pelayan masyarakat.
Budaya birokrasi semacam itu disebut
sebagai ruang birokrasi virtual. Budaya birokrasi itu akan menambah catatan
pada ruang hitam otonomi daerah. Belum lagi fenomena banyak kepala daerah
Bupati/wali kota seolah menjadi raja-raja kecil dengan pola kepemimpinan yang
otoritatif dan semaunya sendiri, sehingga memunculkan banyak konflik
kepentingan antara rakyat dengan pemerintah daerah dan atau antara pemerintah
daerah dengan gubernurnya. Sungguh ironis dan hal itu sebagai indikasi gagalnya
otonomi daerah. Kesuksesan otonomi daerah dapat dilihat dari kesejahteraan
masyarakat, pelayanan publik yang prima dan berjalannya check and
balances dari masyarakat.