pendaftaran TNT 1000 guru banten

Kamis, 16 Januari 2014

e-gove e-learacy

E-LIERACY
2.1 PENGERTIAN E-LITERACY           
Istilah “e-literacy” diartikan sebagai kemampuan menggunakan perangkat teknologi informasi (Indrajit, 2005: 37). Alan Martin (seperti yang dikutip oleh Secker, 2004: 78) mendefinisakan “e-literacy “ sebagai literasi komputer yang diintegrasikan dengan literasi informasi, literasi moral, literasi media, dan keterampilan belajar dan mengajar. Istilah ini digambarkan sebagai kemampuan individu atau institusi yang sangat penting supaya berhasil dalam mengikuti suatu era yang telah memakai alat-alat dan fasilitas elektronik (e-literacy as computer literacy coupled with elements of information literacy, moral literacy, media literacy and teaching and learning skills. It has been described as: “a crucial enabler of individuals and institutions in moving successfully in a world reliant upon electronic tools and facilities”)
Definisi tersebut menggambarkan bahwa istilah “e-literacy” ini sangat berkaitan sekali dengan ragam istilah “literacy” lainnya yang berarti kemampuan untuk membaca dan menulis (the ability to read and write). Bunz (seperti yang dikutip Indrajit, 2005: 38) menjelaskan kata ini kemudian berkembang dan sering dipadankan dengan “technology” sehingga dikenal istilah “technology literacy” yang didefinisikan sebagai kemampuan untuk menggunakan teknologi sebagai alat untuk memahami dan menggunakan teknologi sebagai alat untuk mempermudah mencapai tujuan. Selanjutnya ketika teknologi komputer berkembang, dikenal pula istilah “computer literacy” dari definisi yang sederhana yaitu kemampuan menggunakan komputer untuk memenuhi kepuasan kebutuhan pengguna (Rhodes, 1986) sampai yang sangat berbau filosofis seperti “the collection of skills, knowledge, understanding, values, and relasionships that allow a person to function comfortably as a productive citizen in a computer-oriented society” (Watt, 1980).
Lebih jauh lagi Indrajit (2005) menjelaskan bahwa ketika berkembang secara pesat, istilah “internet literacy” –pun lahir dengan sendirinya, yaitu kemampuan untuk menggunakan pengetahuan internet sebagai media komunikasi dan temu kembali informasi secara teori dan praktis. Kemudian Wijaya (2005: 29) menjelaskan bahwa pada sebuah panel yang diikuti oleh beberapa ahli pendidikan, pakar bidang teknologi industri dan kelompok pekerja dari Australia, Brazil, Kanada, Perancis, Amerika Serikat yang tergabung dalam The International ICT Literacy Panel mengeluarkan definisi sebagai berikut “ICT literacy is using digital technology, communication tools, and/or networks to access, manage, integrate, evaluate and create information in order to function knowlwdge society”
Dari beberapa definisi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa baik istilah “e-leteracy” maupun “ICT literacy” pada dasarnya mempunyai kesamaan dalam tujuan penggunaan teknologi informasi sebagai alat untuk komunikasi dan temu kembali informasi. Dari beberapa pengertian di atas terdapat lima aspek terkait yang merupakan integrasi dan aplikasi kemampuan kognitive dan teknis (Wijaya: 31) yaitu:
1. Access (akses): mengetahui tentang dan mengetahui bagaimana untuk mengumpulkan dan atau mendapatkan informasi.
2. Manage (mengelola): menerapkan skema klasifikasi atau organisasi.
3. Integrate (meng-integrasikan): meng-interpretasikan dan menggambarkan ulang informasi. Hal ini termasuk di dalamnya membuat ringkasan, membandingkan, dan menggarisbawahi.
4. Evaluate (meng-evaluasi): memutuskan tentang kualitas, keterkaitan, kegunaan, atau efisiensi dari informasi.
5. Create (menciptakan): menciptakan informasi baru dengan cara mengadopsi, menerapkan, mendesain, membuat atau menulis informasi.
Aspek-aspek ini terintegrasi dalam kemampuan yang bersifat kognitive (teori) sebagai kamampuan dasar yang kita butuhkan setiap saat seperti di sekolah atau tempat kita kerja, antara lain berupa kemampuan memecahkan masalah, numerik dan visualisasi. Sedangkan kemampuan teknis (praktis) dapat diartikan sebagai kemampuan untuk memahami perangkat keras, perangkat lunak, jaringan dan elemen-elemen teknologi digital.
2.1 Tingkat Kematangan E-Literacy
Kemampuan e-literacy pada setiap individu akan memiliki pola yang berbeda sesuai dengan kebutuhan hidup dan kedewasaan masyarakat, seperti yang dapat kita lihat pada gambar di bawah ini (Menteri Komunikasi dan Informatika RI, 2006: 42). Hal ini sesuai dengan kerangka konsep Personal Capabality Maturity Model (P-CMM) yang dikutip oleh Indrajit (2005), maka kurang lebih level e-literacy seseorang dapat digambarkan seperti demikian:
a. Level 0 – jika seorang individu sama sekali tidak tahu dan tidak peduli akan pentingnya informasi dan teknologi untuk kehidupan sehari-hari;
b. Level 1 – jika seorang individu pernah memiliki pengalaman satu dua kali di mana informasi merupakan sebuah komponen penting untuk pencapaian keinginan dan pemecahan masalah, dan telah melibatkan teknologi informasi maupun komunikasi untuk mencarinya;
c. Level 2 – jika seorang individu telah berkali-kali menggunakan teknologi informasi dan komunikasi untuk membantu aktivitasnya sehari-hari dan telah memiliki pola keberulangan dalam penggunaannya;
d. Level 3 – jika seseorang individu telah memiliki standar penguasaan dan pemahaman terhadap informasi maupun teknologi yang diperlukannya, dan secara konsisten mempergunakan standar tersebut sebagai acuan penyelenggaraan aktivitasnya sehari-hari;
e. Level 4 – jika seseorang individu telah sanggup meningkatkan secara signifikan (dapat dinyatakan secara kuantitatif) kinerja aktivitas kehidupannya sehari-hari melalui pemanfaatan informasi dan teknologi; dan
f. Level 5 – jika seseorang individu telah menganggap informasi dan teknologi sebagian bagian yang tidak terpisahkan dari aktivitas sehari-hari, dan secara langsung telah mewarnai prilaku dan budaya hidupnya (bagian dari information society atau manusia berbudaya informasi).
2.3 E-Literacy dan Peran Pustakawan di Masyarakat
            Demikian pentingnya peran pustakawan dalam mengembangkan e-literacy/ICT literacy di masyarakat, sehingga sebagai pustakawan harus menyadari akan tanggung jawab profesi yang telah dipangkunya bagi kemajuan bangsa ini. Salah satunya dalam pidato Menteri Komunikasi dan Informatika RI pada acara Kongres ke-X dan Seminar Ilmiah Nasional Ikatan Pustakawan Indonesia itu, dinyatakan bahwa:
“Kita sadari, bahwa dalam hal kesiapan di bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi, maka Indonesia masih berada pada posisi sangat rendah, dan berdasarkan salah satu survey internasional cenderung menurun. ...Pada tahun 2000 Indonesia berada pada posisi 38 dari 65 negara, dan pada tahun 2006 posisi Indonesia turun ke peringkat 62 dari 68 negara. ..., dan untuk mengatasi semua itu, tidak cukup hanya mengandalkan para guru dan pendidik, ustazd serta dosen. Diperlukan jajaran berlapis untuk menuntaskan tugas mulia menjadikan masyarakat Indonesia yang e-literasi. Tumpuan semua itu, tentu saja kepada pundak para pustakawan!”
            Selanjutnya, di awal pembukaan pidatonya tersebut, Menteri Komunikasi dan Informatika RI talah menyebutkan tiga titik singgung peran pustakawan dalam pembangunan teknologi informasi dan komunikasi (Telematika) ini, antara lain:
Pertama, Pustakawan sebagai “agent of change” dalam masyarakat, selain memiliki kewajiban profesional, juga menerima panggilan moral untuk melakukan percepatan proses pembelajaran masyarakat;
Kedua, Pustakawan sebagai profesi yang mengabdi kepada kedua kepentingan, yakni warga masyarakat, ummat manusia secara umum dan lembaga tempat bekerja, dimana mereka berkewajiban untuk memelihara keseimbangan dan keserasian tugas bagi sebesar-besar kemaslahatan umat; dan
Ketiga, Pustakawan sebagai anggota masyarakat yang memiliki “posisi sosial tersendiri yang bersifat khas atau unik”, maka mereka diharapkan juga memerankan diri sebagai “tokoh informasi” dalam pembangunan masyarakat yang lebih dipahami sebagai upaya “pemberdayaan masyarakat”.
Melihat kepada peran yang ada di atas, paling tidak seorang pustakawan haruslah dapat menempatkan dirinya sebagai seorang manajer informasi bagi lingkungan masyarakat setempat, dan kalaulah boleh meminjam beberapa ulasan tentang pentingnya ICT literacy bagi seorang manajer yang ditulis oleh Wijaya (2005: 33), maka e-literaci/ICT literacy ini penting sekali bagi seorang pustakawan, antara lain:
1. Untuk menjalankan tugasnya serta memecahkan masalah yang muncul terkait dengan pekerjaannya seorang pustakawan (manajer informasi) selalu membutuhkan data dan informasi.
2. Data dan informasi yang dibutuhkan dapat diperoleh dan diolah dengan cepat, tepat dan akurat agar dapat menghasilkan informasi pemecahan masalah dengan bantuan Information and Communicaton Technology.
3. Agar dapat memanfaatkan Information and Communicaton Technology dengan baik maka pustakawan (manajer informasi) membutuhkan kemampuan terkait Information and Communicaton Technology tersebut atau lebih dikenal dengan ICT literacy.
4. ICT literacy merupakan integrasi dan penerapan dari kemampuan kognitif dan kemampuan teknis.
Mengingat bahwa tidak setiap pustakawan mempunyai e-literaci/ICT literacy yang sesuai dengan kebutuhan lingkungan kerja yang diembannya, maka diperlukan upaya untuk memetakan e-literaci/ICT literacy masing-masing pustakawan yang ada pada setiap lembaga tersebut. Bahkan mungkin terjadi bahwa pemahaman e-literaci/ICT literacy pada setiap pustakawan akan berbeda walaupun ada pada jenjang kepangkatan yang sama. Hal inilah yang dikenal dengan kesenjangan digital (digital divide) antar pustakawan. Dengan pemetaan e-literaci/ICT literacy bagi seluruh pustawakan yang ada di Indonesia ini dapat menghasilkan data dan informasi sebagai panduan Pusat Pengembangan Pustakawan Perpustakaan Nasional RI untuk mempersiapkan program pendidikan di bidang e-literaci/ICT literacy dengan lebih tepat. Dengan program pengembangan e-literaci/ICT literacy yang tepat maka dapat mengurangi kesenjangan digital pustakawan Indonesia.
Selanjutnya, kembali kepada komitmen global WSIS dalam mencapai masyarakat berbasis pengetahuan atau masyarakat yang e-literaci/ICT literacy, dan target pembangunan atau pemanfaatan Telematika yang akan dicapai tahun 2015, terdapat 11 sasaran utama yang perlu dilakukan, antara lain:
1. Terhubungnya seluruh desa dengan jaringan pemanfaatan Telematika melalui Community Access Point atau terjemahan bebasnya Jaringan Akses Informasi Masyarakat;
2. Terhubungnya segenap universitas, akademi dan perguruan tinggi serta sekolah;
3. Terhubungnya seluruh pusat kajian ilmiah dan riset;
4. Terhubungnya seluruh perpustakaan Umum, pusat kebudayaan, museum, kantor pos, kantor arsip;
5. Terhubungnya seluruh rumah sakit, pusat-pusat kesehatan;
6. Terhubungnya semua kantor pemerintahan pusat, dan daerah-daerah dengan layanan web;
7. Terselenggaranya seluruh kurikulum tingkat pendidikan dasar, menengah dan tinggi sesuai kebutuhan berbasiskan Telematika;
8. Tersedianya akses bagi seluruh warga masyarakat untuk layanan siaran radio, dan siaran televisi;
9. Terwujudnya pengembangan konten berbasis budaya lokal dan fasilitas aplikasi penggunaan bahasa lokal di internet yang terhubung;
10. Tersedianya akses separuh penduduk Indonesia ke jaringan internet; serta
11. Terbangunnya kemampuan pemanfaatan Telematika di masyarakat secara merata.
Melihat beberapa indikator di atas dan kondisi Indonesia saat ini, penerapan e-literaci/ICT literacy masih belum dapat maksimal atau akan mengalami beberapa hambatan. Salah satu faktor hambatan tersebut disebabkan oleh masih kurangnya ketersediaan akses terhadap sumber-sumber informasi yang telah disebutkan di atas, terutama masalah akses internet. Masalah akses internet ini sangat berkaitan sekali dengan infrastruktur yang ada, dimana saat ini masih didominasi oleh Pemerintah dengan PT Telkom dan Indosat-nya. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Budi Rahardjo (2001) bahwa:
The success of Internet depends on telecommunication infrastructure. It is unfortunate that in many parts of Indonesia Telco’s infrastructure is still poor. Teleco is monopolized by Government (through PT Telkom and PT Indosat). The government is planning to open this in the years to come.”
Diharapkan dari pernyataan terakhir tersebut, dimana pemerintah akan membuka peluang pengembangan infrastruktur bagi pihak swasta, masyarakat Indonesia akan merasakan manfaat internet dengan harga yang murah dan jaminan kualitas yang cukup baik.
Perkembangan internet yang semakin populer ini, seyogyanya sudah menjadi hak masyarakat Indonesia yang harus didukung oleh pemerintah sebagaimana yang dilakukan di Amerika Serikat ketika Presiden Bill Clinton (seperti yang dikutip oleh Oetomo, 2002: 72) menganjurkan kepada Kongres untuk mendukung program prestisiusnya, yang dikenal dengan istilah Next Generation Internet (NGI), pada kesempatan itu Bill Clinton mengatakan,
“ Kita harus memberi kemudahan seseorang untuk menjelajahi sesuatu yang ada di dunia Cyber. Untuk itu, kondisikan bagaimana caranya agar setiap hari jangan hanya segelintir orang Amerika tetapi jutaan orang Amerika merasa nikmat dan nyaman berselancar menggunakan World Wide Web di Internet baik saat berada di sekolah, perpustakaan, rumah maupun mengurusi bisnis. Jangan lupakan, kita harus memberi alat untuk menolong orang tua melindungi anak-anak dari bahan-bahan yang tidak sesuai di Internet. Kita harus mendapat sesuatu yang dibutuhkan dan tetap melindungi anak-anak. Selain itu, juga harus dapat melindungi ledakan komersial global Internet yang tidak baik.”
Komitmen Pemerintah Indonesia untuk mengembangkan dan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi ini, dapat dilihat dari salah satu pidato Bapak Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (seperti yang dikutip oleh Menteri Komunikasi dan Informatika RI, 2006) tentang peran Teknologi Informasi yang mampu memberikan nilai tambah bagi masyarakat luas, mendorong partisipasi masyarakat luas, mendorong pemanfaatan Teknologi Informasi sehingga terwujud masyarakat cerdas yang mampu meningkatkan daya saing bangsa.
Kalau melihat kondisi jaringan tulang punggung pembangunan jaringan komputer dan telekomunikasi Indonesia saat ini dengan Nusantara-21nya, kita masih punya peluang untuk meningkatkan pemahaman e-literacy/ICT literacy ini di masyarakat. Fakta ini didukung oleh kemapuan Nusantara-21, dimana hasil laporan Juni 2001 telah dapat:
1. Menghubungkan infrastruktur nasional dan internasional dari 26 Ibu Kota Propinsi.
2. Khusus untuk pulau Jawa sudah terpasang Sistem Komunikasi Serat Optik (SKSO) dengan rute utara dan selatan, Sistem Gelombang Mikro Digital (GMD) yang dioperasikan baik sebagai jaringan tulang punggung maupun jaringan akses; SKSD untuk menjangkau daerah terpencil dan memberikan layanan broadcasting.
3. Untuk luar pulau Jawa, telah digunakan GMD dan SKSD sebagai infrastruktur utamanya. (Oetomo, 2002: 73)
Kemajuan dukungan di atas, dapat kita lihat dari perkembangan statistik pengguna internet masyarakat Indonesia, seperti yang dikeluarkan oleh PT Insan Infonesia, dimana pertumbuhan pengguna internet pada masyarakat Indonesia mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan, lihat statistik di bawah ini.Dapat disimpulkan bahwa setiap negara terdiri dari masyarakat dengan beragam tingkat e-literacy/ICT literacy yang berbeda. Permasalahan berikutnya adalah bagaimana langkah-langkah pustakawan agar perannya dapat dirasakan di tengah-tengah masyarakat Indonesia ini. Untuk menjawab permasalahan tersebut ada tiga usulan strategi yang diutarakan oleh Cheng dkk. dalam sebuah artikelnya yang berjudul A Validation study of the computer literacy examination: Cognitive Aspects, seperti yang diuraikan oleh Indrajit (2005: 41), yaitu:
1. Menciptakan Konteks (Demand Creation)
Setiap manusia dalam kesehariannya selalu diwarnai dengan suasana atau atmosphere yang bernuansa positif dan negatif. Yang dimaksud positive atmosphere atau suasana positif adalah ketika yang bersangkutan memiliki suatu keinginan, atau cita-cita, atau harapan terhadap sesuatu yang ingin diraih; sementara sebuah negative atmosphere terjadi bila yang bersangkutan mengalami permasalahan, atau kelelahan, atau beban hidup (stress) yang ingin dihilangkan. Ketika suatu keinginan positif terjadi pada seseorang – misalnya ingin mendapatkan beasiswa melanjutkan pendidikan ke luar negeri, atau ingin mendapatkan pekerjaan dengan gaji tertentu, atau ingin menyusun sebuah karya tulis (buku), dan lain sebagainya – maka yang bersangkutan akan berusaha mencari jalan agar keinginan tersebut terwujud (komitmen). Sementara itu di sisi lain, ketika suasana negatif muncul pada seseorang – misalnya menghadapi permasalahan tidak berhasil mendapatkan tiket pesawat untuk bepergian, merasa gundah karena tidak memiliki dana untuk membangun institusi, sedih karena memiliki penyakit yang tidak dapat disembuhkan, dan lain sebagainya – yang bersangkutan secara sadar atau tidak ingin segera keluar dari situasi tersebut dengan cara melakukan aktivitas tertentu.
Pada saat individu tersebut sedang dalam proses “pencaharian” yang dipicu oleh salah satu atau bahkan kedua atmosphere tersebut, maka yang bersangkutan akan dihadapkan pada sebuah solusi yang menempatkan informasi sebagai salah satu dari faktor atau komponen penentu pencapaian keinginan yang dimiliki atau pemecahan permasalahan yang dihadapi. Permasalahan yang timbul adalah terlampau banyaknya individu yang masih berada dalam pola pikir paradigma lama yang menganggap bahwa jawaban hanya berada dalam sebuah “dunia fisik” yang ditandai oleh adanya hal-hal yang dapat disentuh seperti 4M (money, men, material, dan machine/method), bukan sebuah “dunia maya” yang di dalamnya memiliki sesuatu value atau kekayaan baru seperti “informasi mengenai di mana money berada”, “informasi terkait dengan men yang dapat dihubungi”, “informasi mengenai mendapatkan materials yang diinginkan”, “informasi terkait cara atau method melakukan sesuatu”.
Adalah merupakan tugas dari mereka yang telah memiliki e-literacy yang tinggi untuk menemukan sebuah konteks agar masyarakat yang dalam kesehariannya mengalami peristiwa positif maupun negatif tersebut dapat berpikir bahwa “since information is a part of the solution, it is also a part of the solution”. Cara mencari atau menciptakan konteks bagi mereka beraneka ragam, sesuai dengan situasi dan kondisi serta budaya masyarakat yang ada, misalnya dengan memberikan contoh cerita sukses, analogi, dan lain sebagainya.
2. Melibatkan Teknologi (Supply Technology)
Ketika yang bersangkutan “sadar” dan percaya bahwa informasi merupakan jawaban atas keinginan atau permasalahan yang ada, individu tersebut berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan entiti tersebut. Pada saat inilah the value of technology dapat ditawarkan kepada mereka karena kemampuannya untuk melakukan hal-hal semacam: pencarian informasi secara lebih cepat dan akurat, menembus lintas batas geografis negara, tersedia ragam fitur dan fasilitas untuk berinteraksi dan bertransaksi secara mudah dan murah, melakukan akses terhadap informasi berkualitas yang “tak terhingga” jumlahnya, dan lain sebagainya.
Tantangan utama yang dihadapi mereka terkait dengan hal ini adalah tidak adanya “kemauan, kemampuan, dan pengetahuan” untuk merubah (dari yang tidak menyukai teknologi, menjadi yang technology literate). Oleh karena itu diperlukan sebuah strategi jitu yang dapat membawa orang-orang tersebut mau dengan kesadaran penuh (atau jika perlu karena keadaan terpaksa) untuk menggunakan teknologi informasi dan komunikasi sebagai sarana efektif dan efisien “mengakuisisi” informasi yang menjadi kebutuhannya. Yang paling berperan di sini adalah para penyedia atau pencipta produk teknologi terkait dengan hal ini. Semakin sulit sebuah teknologi dipergunakan atau dipandang oleh pengguna, semakin sulit pula “memaksa” individu tersebut untuk menggunakannya.
Dengan melihat kenyataan ini, maka strategi yang perlu diciptakan adalah dengan melakukan aktivitas-aktivitas seperti: menciptakan teknologi tepat guna yang mudah difungsikan, mengajarkan orang lain bahwa menggunakan teknologi itu mudah dan menyenangkan (pakai cara “getuk tular” atau dari mulut ke mulut), menyediakan jasa pelatihan cara menggunakan teknologi pada berbagai komunitas, mempraktekkan kiat-kiat mencari informasi secara cepat dan tepat, membuka tabir rahasia keampuhan teknologi, dan lain sebagainya.
3. Merubah Prilaku (Behaviour Change)
Pengalaman mereka dalam menjalani tahapan pertama dan kedua strategi tersebut akan sangat mempengaruhi ada atau tidaknya perubahan perilaku dari individu yang bersangkutan. Jika yang bersangkutan pada akhirnya memperoleh bukti bahwa memang benar informasi dan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi telah berhasil memberikan kontribusi bagi pencapaian keinginan maupun pemecahan masalah yang dihadapi, maka tentu saja pengalaman baik ini akan selalu memperlakukan informasi sebagai sebuah saksi pembelajaran tak ternilai bagi mereka. Dalam arti kata, untuk selanjutnya, secara sadar mereka akan selalu memperlakukan informasi sebagai sebuah asset yang sangat bernilai dan teknologi sebagai sebuah sarana atau medium atau perangkat yang mutlak untuk dipergunakan.
Banyak jenis atau pendekatan strategi yang kerap dipergunakan oleh mereka yang telah berada pada tahap ini, seperti misalnya melakukan kalkulasi terhadap cost-benefit atau perbandingan antara biaya dan manfaat yang diperoleh, menceritakan kisah suksesnya tersebut ke orang lain (testimony), mencoba berbagai teknologi baru dan pendekatan pencarian informasi secara bervariasi (experiment), dan lain sebagainya. Intinya adalah pada tahapan ini, mereka telah berada pada posisi yang “ketagihan” atau addicted terhadap sebuah entiti yang bernama informasi dan teknologi, sehingga secara perlahan-lahan namun pasti, kualitas kehidupan mereka dapat meningkat secara signifikan.


e-gov

 1.1  Pengertian The Digital Devide 
a.       Menurut Kamus Komputer dan Teknologi Informasi, Digital divide yaitu istilah yang digunakan untuk menerangkan jurang perbedaan antara mereka yang mempunyai kemampuan dalam hal akses, dan pengetahuan dalam penggunaan teknologi modern, dengan mereka yang tidak berpeluang menikmati teknologi tersebut.
b.      Menurut Inpres No.3 Tahun 2003 disebutkan bahwa digital divide, yaitu keterisolasian dari perkembangan global karena tidak mampu memanfaatkan informasi.
c.       Menurut Dr. Craig Warren Smith (Investor Group Against Digital Divide), Digital divide (kesenjangan digital) yaitu kesenjangan antara mereka yang mendapatkan keuntungan dari teknologi dan mereka yang tidak mendapatkannya.
d.      Menurut Donny B.U., M.Si, Istilah "digital divide" terbentuk untuk menggambarkan kesenjangan dalam memahami, kemampuan, dan akses teknologi. Sehingga muncul istilah “the have” sebagai pemilik/penggunna teknologi dan “the have not” yang berarti sebaliknya.
e.       Menurut Direktorat Pemberdayaan Telamatika Departemen Komunikasi dan Informatika, Digital divide mempunyai arti sebagai kesenjangan (gap) antara individu, rumah tangga, bisnis, (atau kelompok masyarakat) dan area geografis pada tingkat sosial ekonomi yang berbeda dalam hal kesempatan atas akses teknologi informasi dan komunikasi/TIK (information and communication technologies/ ICT) atau telematika dan penggunaan internet untuk beragam aktivitas. Jadi, digital divide atau “kesenjangan digital” sebenarnya mencerminkan beragam kesenjangan dalam pemanfaatan telematika dan akibat perbedaan pemanfaatannya dalam suatu negara dan/atau antar Negara.
f.       Menurut Sigit Widodo (SW): Selama ini kita selalu mengatakan, kesenjangan digital (digital divide) itu terjadi karena masalah infrastruktur. Namun ternyata ada hal-hal lain yang menyebabkannya. Dan salah satunya adalah masih kurangnya content berbahasa Indonesia.
g.      Yayan Sopyan (YS), Berbicara mengenai kesenjangan digital berarti berbicara mengenai gap antara kelompok masyarakat yang bisa menikmati teknologi digital sebagai alat untuk bekerja, berkreasi, berkreativitas, dan lain sebagainya- dan menikmati keuntungan-keuntuingan yang diberikan oleh teknologi digital, dan kelompok masyarakat yang sama sekali tidak mencicipi itu. Itulah yang disebut kesenjangan digital.
 

1.2 Penyebab Terjadinya Digital Devide
1. Infrastruktur
Infrastruktur merupakan sebuah fasilitas pendukung, seperti infrastruktur listrik, internet, komputer dan lain. Contoh mudah mengenai kesenjangan infrastruktur ini, orang yang punya akses ke komputer bisa bekerja dengan cepat. Ia bisa menulis lebih cepat di bandingkan mereka yang masih menggunakan mesin ketik manual.
Contoh yang lain, orang yang mempunyai akses ke komputer Internet, otomatis mempunyai wawasan yang lebih luas di bandingkan mereka yang sama sekali tidak punya akses ke informasi di Internet yang serba luas.
2. Kekurangan skill (SDM)
Sumber daya manusia sangat berpengaruh dalam dunia ilmu teknologi dan informasi karena SDM ini menentukan biasa tidaknya seorang mengoperasikan atau mengakses sebuah informasi.
3. Kekurangan isi (konten) materi bahasa indonesia
Content berbahasa Indonesi menentukan bisa tidaknya seorang dapat mengerti mengakses Internet, di Indonesia terutama kota-kota tingkat pendidikan sudah lebih tinggi. Jadi, sedikit banyak sudah mengerti bahasa Inggris. Sedangkan yang di desa, seperti petani-petani, mereka masih sangat kurang dalam menggunakan bahasa asing (Inggris).
4. Kurangnya pemanfaatan akan internet itu sendiri.
       Berbicara mengenai kesenjangan digital, bukanlah semata-mata persoalan infrastuktur. Banyak orang memiliki komputer, bahkan setiap hari, setiap jam- bisa mengakses Internet tetapi "tidak menghasilkan apapun".
       Misal, ada seorang remaja punya akses ke komputer dan Internet. Tapi yang dia lakukan hanya chatting yang biasa-biasa saja. Tentu saja, ia tidak bisa menikmati keuntungan-keuntungan yang diberikan oleh teknologi digital. Itu artinya, kesenjangan digital tidak hanya bisa dijawab dengan penyediaan infrastruktur saja. Infrastruktur tentu dibutuhkan tetapi persoalannya adalah ketika orang punya komputer dan bisa mengakses Internet, pertanyaan berikutnya adalah, "apa yang mau diakses? Apa yang mau dia kerjakan dengan peralatan itu, dengan keunggulan-keunggulan teknologi itu.



1.3 Dampak Positif Digital Devide
Dampak positif kesenjangan digital bagi sebagian orang yang belum mengenal atau menerapkan teknologi adalah masyarakat dapat termotifasi untuk ikut ambil bagian dalam peningkatan teknologi informasi. Teknologi informasi merupakan teknologi masa kini yang dapat menyatukan atau menggabungkan berbagai informasi, data dan sumber untuk dimanfaatkan sebagai ilmu bagi kegunaan seluruh umat manusia melalui penggunaan berbagai media dan peralatan telekomunikasi modern.
Dengan menggunakan berbagai media, peralatan telekomunikasi dan computer canggih, Teknologi Informasi akan terus berkembang dan mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan dan peradaban umat manusia di seluruh dunia. Kemajuan peradaban manusia di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi pada abad informasi ini telah memudahkan manusia berkomunikasi antara satu dengan lainnya.

1.4 Dampak Negatif Digital Devidein.
Kemajuan Teknologi Informasi itu terlahir dari sebuah kemajuan zaman, bahkan mungkin ada yang menolak anggapan, semakin tinggi tingkat kemajuan yang ada, semakin tinggi pula tingkat kriminalitas yang terjadi. Kehadiran internet ditengah masyarakat menimbulkan dampak positif dan Negatif, ibarat sebilah pisau, tergantung pemakainnya. Bila digunakan untuk hal-hal yang benar dan bermanfaat akan sangat membantu menyelesaikan pekerjaan, tetapi jika jatuh ditangan orang jahat akan membahayakan orang lain. Misalnya ; Pembobolan Kartu Kredit. pembobolan kartu kredit (Credit Card Fraud) dengan modus mencuri dan memalsukan kartu kredit. Perbuatan ini menimbulkan kerugian pada pemilik kartu Bank penerbit bahkan merugikan Negara.
Digital Divide tidak bisa diselesaikan dengan peningkatan akses terhadap teknologi itu sendiri, karena kesenjangan dalam hal ini berpotensi melahirkan persoalan kesenjangan baru dalam masyarakat atau memperparah persoalan kesenjangan yang ada, terutama di negara berkembang atau kelompok masyarakat/ daerah yang relatif tertinggal. Digital divide atau senjang digital mengacu pada kesenjangan atau jurang yang menganga di antara mereka yang dapat mengakses teknologi informasi (TI) dan mereka yang tidak dapat melakukannya. Ketakseimbangan ini bisa berupa ketakseimbangan yang bersifat fisik (tidak mempunyai akses terhadap komputer dan perangkat TI lain) atau yang bersifat keterampilan yang diperlukan untuk dapat berperan serta sebagai warga digital. Jika pembagian mengarah ke kelompok, maka senjang digital dapat dikaitkan dengan perbedaan sosial-ekonomi (kaya/miskin), generasi (tua/muda), atau geografis (perkotaan/pedesaan). Sejalan dengan berkembangnya dan makin tidak terpisahkannya Internet dengan TI, maka digital divide mencakup juga ketakseimbangan akses terhadap dunia maya.dan faktor-faktor yang haus diperhatikan sekarang ini persaingan Digital Devide.

1.5 Solusi Mengurangi Digital Devide
     Langkah yang terbaik untuk mengurangi kesejangan digital adalah :
1.      menyiapkan masyarakat untuk bisa menangani, menerima, menilai, memutuskan dan memilih informasi yang tersedia. Penyiapan kondisi psikologis bagi masyarakat untuk menerima, menilai, memutuskan dan memilih informasi bagi diri mereka sendiri akan lebih efektif dan mendewasakan masyarakat untuk bisa mengelola informasi dengan baik. Dengan kemajuan teknologi informasi seseorang atau masyarakat akan mendapat kemudahan akses untuk menggunakan dan memperoleh informasi. Misalnya dengan mengadakan penyuluhan kesekolah-sekolah tentang penggunaan Internet.
2.      Pembangunan fasilitas telekomunikasi antara kota dan desa, sehingga setiap masyarakat yang ingin mengakses informasi dapat tercapai dengan tersedianya fasilitas telekomunikasi yang memadai. Wartel dan Warnet memainkan peranan penting dalam mengurangi digital divide. Warung Telekomunikasi dan Warung Internet ini secara berkelanjutan memperluas jangkauan pelayanan telepon dan internet, baik di daerah kota maupun desa. Secara singkat solusi yang dapat digunakan untuk mengurangi digital divide, yaitu :
a.      Penyedian infrastruktur yang memadai;
b.      Memberikan penyuluhan tentang kemajuan teknologi informasi
c.       Pembangunan fasilitas telekomunikasi antara kota dan desa.

1.6 DIGITAL DIVIDE DAN KAITANNYA DENGAN E-GOVERNMENT
Inpres No.3 Tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan E-Government menyebutkan bahwa tuntutan perubahan merupakan motivasi e-government. E-Government sendiri merupakan pemanfaatan teknologi komunikasi dan informasi dalam proses pemerintahan (e-government) akan meningkatkan efisiensi, efektifitas, transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan. Sehingga pada Inpres No.3 Tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan E-Government pasal 5 menyebutkan bahwa “Dengan demikian pemerintah harus segera melaksanakan proses transformasi menuju e-government. Melalui proses transformasi tersebut, pemerintah dapat mengoptimasikan pemanfaatan kemajuan teknologi informasi untuk mengeliminasi sekat-sekat organisasi  birokrasi, serta membentuk jaringan sistem manajemen dan proses kerja yang memungkinkan instansi-instansi pemerintah bekerja secara terpadu untuk menyederhanakan akses ke semua informasi dan layanan publik yang harus disediakan oleh pemerintah.
Dengan demikian seluruh lembaga-lembaga negara, masyarakat, dunia usaha, dan pihak-pihak berkepentingan lainnya dapat setiap saat memanfaatkan informasi dan layanan pemerintah secara optimal. Untuk itu dibutuhkan kepemimpinan yang kuat di masing-masing institusi atau unit pemerintahan agar proses transformasi menuju e-government dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.”
Dengan hadirnya e-government secara utuh diharapkan dapat mempermudah, memperlancar, dan menjadikan pelayanan kepada masyarakat menjadi efektif dan efisien. Disamping itu diharapkan  Indonesia mampu mengikuti perubahan ke arah globalisasi saat ini. Perubahan-perubahan dalam tubuh Indonesia terjadi seiring dengan transformasi menuju era masyarakat informasi pada dunia. Hal ini sebagai akibat dari perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang semakin pesat sebagai dampak dari globalisasi. Penggunaan media elektronik sesungguhnya sangat dibutuhkan dalam masyarakat informasi. Oleh karena itu, Indonesia harus mampu menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan global tersebut sehingga masyarakat informasi dapat terwujud. Tapi jika Indonesia tidak mampu menyesuaikan diri dikhawatirkan adanya kesenjangan digital yang semakin melebar.
Dengan melihat isu digital divide, pengembangan e-government di Indonesia sangat penting. Pengembangan e-government itu sendiri menurut Inpres No.3/2003 merupakan upaya untuk mengembangkan penyelenggaraan kepemerintahan yang berbasis (menggunakan) elektronik dalam rangka meningkatkan kualitas layanan publik secara efektif  dan efisien. Melalui pengembangan e-government dilakukan penataan sistem manajemen dan proses kerja di lingkungan pemerintah  dengan mengoptimasikan pemanfaatan teknologi informasi.

1.7 Kasus Digital Devide Negara Lain
Akademisi umumnya mendefinisikan kesenjangan digital sebagai terutama tentang kesenjangan yang ada antara orang-orang yang memiliki akses ke media digital dan internet dan mereka yang tidak memiliki akses (lihat Norris 2001; Meredyth et al 2003;. Servon 2002; Holderness 1998; Haywood 1998).Kesenjangan dalam kepemilikan dan akses terhadap media ini secara potensial dapat mempengaruhi akses ke informasi dari internet oleh masyarakat yang kurang beruntung dan juga menciptakan atau memperkuat kesenjangan sosial-ekonomi berdasarkan marjinalisasi digital dari kelas miskin dan wilayah di dunia. Sebagai contoh, pada tahun 1999 Thailand telah telepon selular lebih dari seluruh Afrika sementara Amerika Serikat memiliki komputer lebih dari seluruh dunia gabungan (lihat UNDP 1999: 75). Demikian pula, di sekitar periode yang sama, negara-negara industri (yang memiliki kurang dari 15 persen dari orang-orang di dunia) memiliki 88 persen pengguna internet.Amerika Utara saja (dengan kurang dari 5 persen dari orang-orang) memiliki lebih dari 50 persen dari semua pengguna (HDP 2003: 75). Dengan demikian ketidakseimbangan, atau kesenjangan penyebaran media digital dan Internet-informasi antara kaya dan miskin-informasi di seluruh dunia secara umum digunakan sebagai kriteria menentukan utama dari kesenjangan digital di mana universal akses ke New Media dipandang sebagai bagian dari solusi terhadap tantangan pembangunan dan demokratisasi yang menghadapi banyak komunitas di seluruh dunia (lihat Bab 9).

1.8 HASIL PENELITIAN DIGITAL DEVIDE
Dunia digital bukan lagi melulu milik negara-negara Eropa dan Amerika Serikat.Kesenjangan digital kini makin menyempit antara negara-negara di dunia.Era digital telah menembus batas-batas negara di dunia.
Dalam salah satu temuan laporan perekonomian digital 2010 yang dilansir The IBM Institute for Business Value yang bekerja sama dengan Economist Intelligence Unit (EIU) disebutkan, negara-negara di dunia kini sudah terkoneksi satu sama lain.
Laporan ini menggarisbawahi bahwa kesenjangan antara negara yang berada di urutan teratas dan terbawah dalam peringkat hanya berbeda 5,5 poin (skala 1-10) tahun ini. Hasil itu menurun dibanding 5,9 poin tahun lalu. Hal ini karena penilaian tidak lagi hanya didasarkan pada kualitas akses jaringan telekomunikasi dan internet, tapi model pemeringkatan tahun ini juga menilai kualitas akses mobile broadbandnegaranegara berdasarkan koneksi 3G dan fiber yang ada serta prevalensinya. ”Perubahan dalam model yang disebutkan di atas meningkatkan nilai negara-negara di peringkat bawah. Tetapi mengurangi nilai negara-negara papan atas.
Seperti harga broadbandyang semakin terjangkau, negara-negara di peringkat bawah juga meraih peningkatan di beberapa bidang,”ujar Director of Global Technology Research EIU Denis McCauley sebagaimana dilansir dalam laman situs resmi EIU. Beberapa negara di Eropa dan Amerika Utara mendapatkan nilai yang lebih rendah, bahkan beberapa negara mengalami penurunan peringkat karena jaringan berkecepatan tinggi mereka masih perlu lebih dikembangkan.Peringkat negara-negara Asia yang menanamkan investasi cukup besar dalam jaringan-jaringan generasi mendatang mengalami kenaikan signifikan.
Beberapa temuan penting lain dalam studi ini di antaranya negaranegara Nordik maju pesat di hampir semua bidang perekonomian digital. Swedia pada 2010 ini menggeser pemimpin ”e-readiness” sebelumnya, Denmark, dengan angka tipis. Sedangkan Finlandia dan Norwegia berada di antara enam negara perekonomian digital teratas tahun ini. Finlandia naik enam posisi, terutama karena peningkatan indikator performa dalam kategori penggunaan layanan online. Tiga negara pemimpin digital Asia mengalahkan kawasan lain dalam hal kualitas.
Taiwan,Korea Selatan, dan Jepang meningkat pesat dalam peringkat perekonomian digital ini berkat tingginya nilai yang mereka raih dibanding negara-negara di kawasan lain dalam hal kualitas broadband dan mobile. Densitas kabel fiber tingkat tinggi memungkinkan ketiga negara ini melaksanakan agenda digital mereka. Di sisi lain, biaya broadband semakin terjangkau di seluruh dunia. Pada 49 dari 70 negara, biaya bulanan yang diberlakukan penyedia sarana broadband adalah di bawah 2% dari rata-rata pendapatan bulanan rumah tangga pada 2010.Pada 2009 hanya terdapat 42 dari 70 negara dan hanya 33 negara pada 2008.
Biaya yang lebih terjangkau semakin kentara di negara- negara berkembang seperti Vietnam dan Nigeria. ”Bagaimanapun perkembangan digital yang kuat membutuhkan kemajuan dan tindakan yang terarah di berbagai bidang,” tambah McCauley. Pemimpin peringkat tahun ini, Swedia,dan sebagian besar negara yang berada di urutan peringkat teratas lain mengandalkan konektivitas yang prima, lingkungan bisnis, dan hukum yang stabil. Selain itu, faktor pendorong pendidikan dan budaya yang kuat, kebijakan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) pemerintah yang kondusif juga menjadi andalan dalam pengembangan ekonomi digital di sejumlah negara. Hasilnya, penggunaan layanan digital perorangan maupun perusahaan meningkat.
Peringkat 10 besar untuk perekonomian digital tahun ini ialah Swedia di urutan pertama dengan skor 8,49.Denmark (2) dengan nilai 8,41,Amerika Serikat (3) nilai 8,41, Finlandia (4) nilai 8,36,Belanda (5) nilai 8,36, Norwegia (6) nilai 8,24, Hong Kong (7) nilai 8,22,Singapura (8) nilai 8,22,Australia (9) dengan nilai 8,21, dan Selandia Baru (10) nilai 8,07. Kemudian beberapa negara Asia di antaranya Taiwan berada di peringkat ke-12 dengan nilai 7,99, Korea Selatan (13) nilai 7,94, Jepang (16) nilai 7,85, Malaysia (36) nilai 5,93,Thailand (49) nilai 4,86, Filipina (54) nilai 4,47, China (56) nilai 4,28, India (58) nilai 4,11, Vietnam (62) nilai 3,87, dan Sri Lanka (63) nilai 3,81.
Posisi Indonesia hanya berada di urutan ke-65 dari 70 negara yang dinilai dengan skor 3,60. Peringkat Indonesia pada 2010 ini tidak beranjak dibanding tahun lalu yang juga berada di posisi ke-65 dengan skor 3,51. Laporan yang berjudul ”Digital Economy Rankings 2010: Beyond E-Readiness” menilai lebih dari 100 kriteria kuantitatif dan kualitatif, yang dibagi ke dalam enam kategori,dimasukkan ke dalam pemeringkat ekonomi digital.Enam kategori ini ialah konektivitas dan infrastruktur teknologi dengan bobot nilai 20%,lingkungan bisnis (15%), lingkungan sosial dan budaya (15%),kebijakan dan lingkungan hukum (10%), visi dan kebijakan pemerintah (15%), serta pengadopsian bisnis dan konsumer (25%).
Untuk indikator lingkungan bisnis menggunakan sembilan indikator turunan yang diringkas dari 74 subindikator. Sumber data yang digunakan dalam menyusun laporan ini di antaranya data EIU, Pyramid Research, Bank Dunia,The World Intellectual Property Organization, termasuk data e-participation index dari The United Nations Department of Economic and Social Affairs (UNDESA). Kriteria kualitatif dinilai oleh jaringan pakar negara EIU yang juga melalui peninjauan terlebih dahulu. Laporan peringkat perekonomian digital ini sebelumnya dikenal sebagai ”peringkat e-readiness”, penelitian tolak ukur teknologi tahunan yang dikeluarkan EIU.Tujuannya untuk menggambarkan prevalensi koneksi internet atas konsumen, bisnis, pemerintah, dan peranan yang sangat diperlukan.
Layanan dan komunikasi digital ini sangat berperan penting di berbagai negara. Laporan ini bisa memberikan gambaran tentang bagaimana tantangan memaksimalkan teknologi komunikasi dan informasi yang dihadapi 70 negara yang dinilai di masa mendatang.


KESIMPULAN
Di era globalisasi saat ini, dimana kebutuhan akan teknologi dan jaringan komunikasi meningkat pesat mengharuskan setiap negara (termasuk Indonesia) untuk dapat memberikan pelayanan yang berbasis elektronik kepada masyarakat dengan tujuan untuk mengefektif dan mengefisienkan pelayanan kepada masyarakat. Untuk itu di butuhkanlah e-government. Namun dalam pelaksanaannya ternyata masih banyak kendala, terutama terbatasnya ketersediaan infrastruktur yang justru mengakibatkan digital divide.
Digital divide mempunyai arti sebagai kesenjangan (gap) antara individu, rumah tangga, bisnis, (atau kelompok masyarakat) dan area geografis pada tingkat sosial ekonomi yang berbeda dalam hal kesempatan atas akses teknologi informasi dan komunikasi/TIK (information and communication technologies/ ICT) atau telematika dan penggunaan internet untuk beragam aktivitas. Jadi, digital divide atau “kesenjangan digital” sebenarnya mencerminkan beragam kesenjangan dalam pemanfaatan telematika dan akibat perbedaan pemanfaatannya dalam suatu negara dan/atau antar Negara.
Hal ini tentu perlu ditanggapi sedini mungkin dengan penuh kesungguhan, sebelum jarak kesenjangan tersebut semakin melebar. Upaya antisipasi atas perkembangan/perubahan di masa datang juga perlu dikembangkan, mengingat kecepatan dan kompleksitas perubahan yang cenderung meningkat, serta perkembangan telematika yang sering dinilai penuh kejutan yang masih sulit diperkirakan.
            Banyak solusi yang sebenarnya dapat dipakai untuk mengurangi digital divide ini, antara lain yaitu :
a.      Penyedian infrastruktur yang memadai;
b.      Memberikan penyuluhan tentang kemajuan teknologi informasi;
c.       Pembangunan fasilitas telekomunikasi antara kota dan desa.